Diambil dari tulisan Rayya Makarim berjudul The Man dibalik "About a Woman"
Dari perjuangan seorang anak mencari bapaknya di “Lovely Man”, ke obsesi supir taksi dengan pelacur di “Something in the way”, Teddy Soeriaatmadja menutup trilogy of intimacy-nya dengan film drama “About a Woman.” Mungkin bukan suatu kebetulan kalau perjalanan ketiga film ini berawal dari pencarian seorang perempuan 19 tahun, lalu mampir pada kisah obsesi dua orang dewasa, dan akhirnya berujung pada cerita seorang perempuan yang mendambakan sebuah sentuhan intim di senja kehidupannya. Kita pun bisa melihat perkembangan penyutradaraan Teddy yang tampak lebih matang dalam drama sederhana yang ditampilkannya di “About a Woman.” Seorang sutradara pada umumnya memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda-beda. Ada yang berpusat pada struktur skenario di mana nilai artistik terdapat dalam naratif dan ritme dialog. Ada juga yang mengandalkan performa actor untuk menyampaikan emosi yang terkandung dalam cerita. Ada lagi yang mengutamakan kecantikan gambar dan memberikan porsi besar pada tata kamera yang menciptakan shot-shot visual yang menawan. Apapun gayanya, pada dasarnya sutradara yang andal mengerti bahwa setiap elemen (teknis maupun non-teknis), perlu diramu dan dipadukan menjadi satu kesatuan yang kemudian bisa dinikmati sebagai sebuah karya kreatif yang utuh. Tentunya bukan hal yang mudah, tapi inilah yang dicoba dilakukan Teddy di “About a Woman.” Teddy mengandalkan skenario dengan cerita sederhana yang serba minimalis; irit karakter, satu lokasi, minim dialog. Di sini lah dia bermain dengan pengadeganan dengan penekanan pada gestur-gestur kecil dan suasana yang dibangun dan dijaga dari awal sampai akhir film. Contoh sederhananya adalah adegan pembuka di mana si ibu meloncat-loncat mencoba membersihkan sarang laba-laba tapi gagal karena plafon terlalu tinggi sehingga ia tak sampai. Adegan ini dimunculkan kembali di tengah film, kali ini yang membersihkan Abi, pemuda yang dikirim untuk membantu dan menemaninya. Abi dengan mudah membereskan apa yang tak bisa dilakukan si ibu. Dengan demikian Teddy tak hanya menyajikan adegan-adegan untuk alasan praktis yaitu pengembangan cerita, tapi juga menawarkan lapisan yang lebih mendalam: misalnya bagaimana si ibu yang sudah berumur ini dengan susah payah menggapai sesuatu yang tak mungkin bisa ia raih kembali, yaitu masa mudanya. Juga bagaimana yang muda tak menggubris pesatnya perjalanan waktu dan dengan enteng menyiakannya. Si ibu mengamati Abi (yang menjadi symbol masa muda dan kejantanan) dengan perasaan terpesona, kagum, tapi sekaligus miris. Pilihan puzzle juga punya makna tersendiri. Kepingan-kepingan berserakan di atas meja selama dua minggu dan masih juga belum terlihat jelas gambarnya. Ini menunjukkan begitu rapuhnya kesehatan fisik dan mental kita di masa tua. Tak hanya itu. Selain menjadi visual image yang enak dipandang, ketika puzzle rampung di akhir film, gambarnya menunjukkan senja, matahari yang terbenam. Perempuan tua itu terisak melihat susunan gambar yang tak berpihak padanya; menandakan keberadaannya di dunia ini semakin pudar. Di credit title pun sang protagonis hanya disebut dengan Ibu/Oma. Karakter lainnya memiliki nama, hanya dia yang tak punya, seolah karena umurnya, ia tak lagi punya hak atas identitasnya. Semua ini pasti sudah dipikirkan secara matang sejak tahap penulisan, tapi di tangan sutradara yang kurang peka, detil-detil kecil macam ini belum tentu muncul ke permukaan. Karena seluruh cerita berlangsung di satu rumah, penyutradaraan dari segi gambar terlihat dari konsep kamera yang cenderung statis, guna memberikan ruang dan waktu pada pemain untuk mengungkapkan drama dalam naratif. Si ibu hampir tak pernah tampak di luar rumah. Dia seakan “terkurung” (walaupun secara sukarela) di tempat kediamannya. Framing kamera sering menempatkannya di antara kusen pintu, bingkai jendela, pantulan cermin sehingga perempuan tua ini tampak “terjebak” dalam adegan-adegan interior yang diisi dengan rutinitas sehari-hari. Sementara Abi yang muda dan gagah sering terlihat di luar rumah sibuk dengan kegiatan-kegiatan fisik yang penuh gerakan. Teddy telah menciptakan kontras yang tegas antara dua dunia; Perempuan tua vs. lelaki muda, interior rumah yang gelap dan remang-remang vs. eksterior kebun yang cerah, struktur kaku rumah vs. tekstur alam yang penuh kehidupan (pohon, rumput, air). Dengan bantuan sinematografer Ical Tanjung yang menciptakan frame dan shot-shot yang serba sempit dan sesak, rumah yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan yang nyaman dan tenteram, mendadak berubah menjadi semacam kurungan. Si ibu tak bebas dan seolah diingatkan kembali betapa tak berdayanya dia melawan takdir. Pada akhirnya adalah aktor; nafas dari sebuah film karena mereka lah yang menyampaikan emosi dari cerita. Pengarahan semua pemain dalam “About a Woman” dilakukan dengan subtil dan kepekaan yang langka. Ada Laras (Anneke Jody), anak si ibu yang sedang coba-coba berjilbab karena suaminya suka, tapi ia tetap tak bisa menghentikan kebiasan merokok. Lalu ada mantu si ibu, Bimo (Ringgo Agus Rahman), seorang pecundang yang tak pernah jelas kerjanya dan tak peka dengan keadaan di sekitarnya. Mereka dimainkan dengan pas, mengingatkan kita pada karakter-karakter yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Tapi yang paling berkesan adalah akting Tutie Kirana yang memerankan si ibu dengan prima. Di industri yang gaya aktingnya cenderung verbal dan berlebihan, Teddy membangun ketegangan dan keintiman antara pemain utamanya secara hening dan elegan. Tak banyak kata untuk menjelaskan, cukup gestur kecil dan jeda untuk menggambarkan seribu makna. Tugas sutradara adalah menerjemahkan kata-kata ke dalam medium gambar lewat pengolahan konsep-konsep abstrak menjadi konkret. Ia menentukan pilihan shot, penempatan dan gerak kamera yang cocok dengan cerita yang ingin disampaikan. Dan ia juga bertanggung jawab atas staging dan pengarahan pemain yang merupakan jiwa dari sebuah film. Teddy Soeriaatmadja menjadi Sutradara Terbaik Pilihan Tempo tahun ini bukan karena dia memiliki fokus tertentu atau pendekatan yang istimewa, tapi justru karena ia mencakup kurang lebih sebagian besar kriteria tugas-tugas tersebut. Ia menguasai dan memahami filmnya secara menyeluruh. Berkat visi kreatifnya yang sukses meramu semua elemen tadi, Teddy berhasil mengantarkan “About a Woman” sebagai sebuah karya seni yang utuh dan cemerlang.
0 Comments
Leave a Reply. |
Filmography
|