SPOTLIGHT ON MADS MIKKELSEN
LOVE AT FIRST SIGHT : EARLY WORKS
![]() Mauvais Sang
A Film by Leos Carax (Drama, 116 minutes, France, 1986) 13 February 2016 / 21.30 26 February 2016 / 19.00 This critically acclaimed sci-fi gangster love poem is not a first feature, but is regarded as the breakthrough work of Leos Carax, blending film noir and science fiction elements in a story about a strange and deadly plague spread by having sex without emotional involvement. |
![]() Grand Central
A film by Rebecca Zlotowski (Drama, 95 minutes, France, 2013) 14 February 2016 / 19.00 20 February 2016 / 21.30 Rebecca Zlotowski’s Grand Central pairs young stars Léa Seydoux and Tahar Rahim as illicit lovers working as decontamination operatives in a nuclear power station in France, where radiation contamination is not just a risk factor but an everyday hazard. |
![]() Babi Buta Yang Ingin Terbang Blind Pig Who Wants To Fly A film by Edwin (Drama, 77 minutes, Indonesia, 2008) 7 February 2016 / 19.00 19 February 2016 / 21.30 The first feature film of Indonesian director Edwin, Blind Pig is a kaleidoscopic view into the lives of Linda, a young Chinese Indonesian girl, and the people around her, all with obsessive agendas of their own. A view into a community never at ease with themselves and their unfulfilled hopes. |
INDONESIANA

Tujuh Manusia Harimau
A film by Imam Tantowi
(Horror, 101 Minutes, Indonesia, 1986)
14 February 2016 / 21.30
19 February 2016 / 19.00
Sebuah film horor yang berdasarkan sebuah kepercayaan mistik. Gumara (Ray Sahetapy) datang ke desa Kumayan untuk jadi guru, di samping mencari ayah kandungnya. Sejak kedatangannya di hari pertama, ia sudah menghadapi hal-hal aneh. Bahkan kunjungannya ke Lebai Karat (El Manik) membuat Gumara menghadapi harimau jadi-jadian. Untung Harwati (Anneke Putri), putri Lebai Karat sempat melerai. Tanpa disadari, Gumara memiliki keampuhan sama.
A film by Imam Tantowi
(Horror, 101 Minutes, Indonesia, 1986)
14 February 2016 / 21.30
19 February 2016 / 19.00
Sebuah film horor yang berdasarkan sebuah kepercayaan mistik. Gumara (Ray Sahetapy) datang ke desa Kumayan untuk jadi guru, di samping mencari ayah kandungnya. Sejak kedatangannya di hari pertama, ia sudah menghadapi hal-hal aneh. Bahkan kunjungannya ke Lebai Karat (El Manik) membuat Gumara menghadapi harimau jadi-jadian. Untung Harwati (Anneke Putri), putri Lebai Karat sempat melerai. Tanpa disadari, Gumara memiliki keampuhan sama.

Wajah Seorang Pembunuh
A film by M. Sharieffudin A
(Horror, 99 Minutes, Indonesia, 1972)
5 February 2016 / 21.30
28 February 2016 / 21.30
Rubiah (Fifi Young), janda kaya berpenyakit asma dan bercucu Rina (Paula Rumokoy), berkali-kali diteror bayangan sosok tubuh brpisau dan bersarung tangan hitam. Inspektur Arifin (S. Bono) yang dilapori, lalu menyelidik. Semua penghuni rumah ditanyai: Umar (Muni Cader), pawang kuda, Rohana (Lenny Marlina), pelayan, dan juga sopir keluarga. Dalang dari teror ini adalah Indra (Gatot Teguh Arifianto), pacar Rina, yang ingin menguasai harta Rubiah. Ia menggunakan Rohana sebagai tangan kanannya. Sedang Rohana lalu memasukkan Umar. Umar inilah yang berhasil melaksanakan pembunuhan, meski dengan motif lain. Indra sendiri mati gantung diri.
A film by M. Sharieffudin A
(Horror, 99 Minutes, Indonesia, 1972)
5 February 2016 / 21.30
28 February 2016 / 21.30
Rubiah (Fifi Young), janda kaya berpenyakit asma dan bercucu Rina (Paula Rumokoy), berkali-kali diteror bayangan sosok tubuh brpisau dan bersarung tangan hitam. Inspektur Arifin (S. Bono) yang dilapori, lalu menyelidik. Semua penghuni rumah ditanyai: Umar (Muni Cader), pawang kuda, Rohana (Lenny Marlina), pelayan, dan juga sopir keluarga. Dalang dari teror ini adalah Indra (Gatot Teguh Arifianto), pacar Rina, yang ingin menguasai harta Rubiah. Ia menggunakan Rohana sebagai tangan kanannya. Sedang Rohana lalu memasukkan Umar. Umar inilah yang berhasil melaksanakan pembunuhan, meski dengan motif lain. Indra sendiri mati gantung diri.
KINODOCS
information

Armadillo
A film by Janus Metz Pedersen
(Documentary, 105 Minutes, Denmark, 2010)
27 February 2016 / 21.30
A group of Danish soldiers accompanied by documentarian Janus Metz arrived at Armadillo, an army base in Afghanistan where Metz spent six months following their lives situated less than a kilometre from Taliban positions. The result is a gripping war drama that provoked furious debate in Denmark concerning the controversial behavior of certain Danish soldiers.
A film by Janus Metz Pedersen
(Documentary, 105 Minutes, Denmark, 2010)
27 February 2016 / 21.30
A group of Danish soldiers accompanied by documentarian Janus Metz arrived at Armadillo, an army base in Afghanistan where Metz spent six months following their lives situated less than a kilometre from Taliban positions. The result is a gripping war drama that provoked furious debate in Denmark concerning the controversial behavior of certain Danish soldiers.

The Look of Silence
A Film by Joshua Oppenheimer
(Documentary, 103 minutes, Germany, 2014)
28 February 2016 / 19.00
A family that survives the 1965 genocide in Indonesia confronts the men who killed one of their brothers.
A Film by Joshua Oppenheimer
(Documentary, 103 minutes, Germany, 2014)
28 February 2016 / 19.00
A family that survives the 1965 genocide in Indonesia confronts the men who killed one of their brothers.
SPOTLIGHT ON TEDDY SOERIAATMADJA
Diambil dari tulisan Rayya Makarim berjudul The Man Di Balik "About a Woman" yang telah dimuat di mingguan TEMPO
Dari perjuangan seorang anak mencari bapaknya di “Lovely Man”, ke obsesi supir taksi dengan pelacur di “Something in the way”, Teddy Soeriaatmadja menutup trilogy of intimacy-nya dengan film drama “About a Woman.” Mungkin bukan suatu kebetulan kalau perjalanan ketiga film ini berawal dari pencarian seorang perempuan 19 tahun, lalu mampir pada kisah obsesi dua orang dewasa, dan akhirnya berujung pada cerita seorang perempuan yang mendambakan sebuah sentuhan intim di senja kehidupannya. Kita pun bisa melihat perkembangan penyutradaraan Teddy yang tampak lebih matang dalam drama sederhana yang ditampilkannya di “About a Woman.”
Seorang sutradara pada umumnya memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda-beda. Ada yang berpusat pada struktur skenario di mana nilai artistik terdapat dalam naratif dan ritme dialog. Ada juga yang mengandalkan performa actor untuk menyampaikan emosi yang terkandung dalam cerita. Ada lagi yang mengutamakan kecantikan gambar dan memberikan porsi besar pada tata kamera yang menciptakan shot-shot visual yang menawan. Apapun gayanya, pada dasarnya sutradara yang andal mengerti bahwa setiap elemen (teknis maupun non-teknis), perlu diramu dan dipadukan menjadi satu kesatuan yang kemudian bisa dinikmati sebagai sebuah karya kreatif yang utuh. Tentunya bukan hal yang mudah, tapi inilah yang dicoba dilakukan Teddy di “About a Woman.”
Teddy mengandalkan skenario dengan cerita sederhana yang serba minimalis; irit karakter, satu lokasi, minim dialog. Di sini lah dia bermain dengan pengadeganan dengan penekanan pada gestur-gestur kecil dan suasana yang dibangun dan dijaga dari awal sampai akhir film. Contoh sederhananya adalah adegan pembuka di mana si ibu meloncat-loncat mencoba membersihkan sarang laba-laba tapi gagal karena plafon terlalu tinggi sehingga ia tak sampai. Adegan ini dimunculkan kembali di tengah film, kali ini yang membersihkan Abi, pemuda yang dikirim untuk membantu dan menemaninya. Abi dengan mudah membereskan apa yang tak bisa dilakukan si ibu. Dengan demikian Teddy tak hanya menyajikan adegan-adegan untuk alasan praktis yaitu pengembangan cerita, tapi juga menawarkan lapisan yang lebih mendalam: misalnya bagaimana si ibu yang sudah berumur ini dengan susah payah menggapai sesuatu yang tak mungkin bisa ia raih kembali, yaitu masa mudanya. Juga bagaimana yang muda tak menggubris pesatnya perjalanan waktu dan dengan enteng menyiakannya. Si ibu mengamati Abi (yang menjadi symbol masa muda dan kejantanan) dengan perasaan terpesona, kagum, tapi sekaligus miris.
Pilihan puzzle juga punya makna tersendiri. Kepingan-kepingan berserakan di atas meja selama dua minggu dan masih juga belum terlihat jelas gambarnya. Ini menunjukkan begitu rapuhnya kesehatan fisik dan mental kita di masa tua. Tak hanya itu. Selain menjadi visual image yang enak dipandang, ketika puzzle rampung di akhir film, gambarnya menunjukkan senja, matahari yang terbenam. Perempuan tua itu terisak melihat susunan gambar yang tak berpihak padanya; menandakan keberadaannya di dunia ini semakin pudar. Di credit title pun sang protagonis hanya disebut dengan Ibu/Oma. Karakter lainnya memiliki nama, hanya dia yang tak punya, seolah karena umurnya, ia tak lagi punya hak atas identitasnya. Semua ini pasti sudah dipikirkan secara matang sejak tahap penulisan, tapi di tangan sutradara yang kurang peka, detil-detil kecil macam ini belum tentu muncul ke permukaan.
Karena seluruh cerita berlangsung di satu rumah, penyutradaraan dari segi gambar terlihat dari konsep kamera yang cenderung statis, guna memberikan ruang dan waktu pada pemain untuk mengungkapkan drama dalam naratif. Si ibu hampir tak pernah tampak di luar rumah. Dia seakan “terkurung” (walaupun secara sukarela) di tempat kediamannya. Framing kamera sering menempatkannya di antara kusen pintu, bingkai jendela, pantulan cermin sehingga perempuan tua ini tampak “terjebak” dalam adegan-adegan interior yang diisi dengan rutinitas sehari-hari. Sementara Abi yang muda dan gagah sering terlihat di luar rumah sibuk dengan kegiatan-kegiatan fisik yang penuh gerakan. Teddy telah menciptakan kontras yang tegas antara dua dunia; Perempuan tua vs. lelaki muda, interior rumah yang gelap dan remang-remang vs. eksterior kebun yang cerah, struktur kaku rumah vs. tekstur alam yang penuh kehidupan (pohon, rumput, air). Dengan bantuan sinematografer Ical Tanjung yang menciptakan frame dan shot-shot yang serba sempit dan sesak, rumah yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan yang nyaman dan tenteram, mendadak berubah menjadi semacam kurungan. Si ibu tak bebas dan seolah diingatkan kembali betapa tak berdayanya dia melawan takdir.
Pada akhirnya adalah aktor; nafas dari sebuah film karena mereka lah yang menyampaikan emosi dari cerita. Pengarahan semua pemain dalam “About a Woman” dilakukan dengan subtil dan kepekaan yang langka. Ada Laras (Anneke Jody), anak si ibu yang sedang coba-coba berjilbab karena suaminya suka, tapi ia tetap tak bisa menghentikan kebiasan merokok. Lalu ada mantu si ibu, Bimo (Ringgo Agus Rahman), seorang pecundang yang tak pernah jelas kerjanya dan tak peka dengan keadaan di sekitarnya. Mereka dimainkan dengan pas, mengingatkan kita pada karakter-karakter yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Tapi yang paling berkesan adalah akting Tutie Kirana yang memerankan si ibu dengan prima. Di industri yang gaya aktingnya cenderung verbal dan berlebihan, Teddy membangun ketegangan dan keintiman antara pemain utamanya secara hening dan elegan. Tak banyak kata untuk menjelaskan, cukup gestur kecil dan jeda untuk menggambarkan seribu makna.
Tugas sutradara adalah menerjemahkan kata-kata ke dalam medium gambar lewat pengolahan konsep-konsep abstrak menjadi konkret. Ia menentukan pilihan shot, penempatan dan gerak kamera yang cocok dengan cerita yang ingin disampaikan. Dan ia juga bertanggung jawab atas staging dan pengarahan pemain yang merupakan jiwa dari sebuah film. Teddy Soeriaatmadja menjadi Sutradara Terbaik Pilihan Tempo tahun ini bukan karena dia memiliki fokus tertentu atau pendekatan yang istimewa, tapi justru karena ia mencakup kurang lebih sebagian besar kriteria tugas-tugas tersebut. Ia menguasai dan memahami filmnya secara menyeluruh. Berkat visi kreatifnya yang sukses meramu semua elemen tadi, Teddy berhasil mengantarkan “About a Woman” sebagai sebuah karya seni yang utuh dan cemerlang.
Dari perjuangan seorang anak mencari bapaknya di “Lovely Man”, ke obsesi supir taksi dengan pelacur di “Something in the way”, Teddy Soeriaatmadja menutup trilogy of intimacy-nya dengan film drama “About a Woman.” Mungkin bukan suatu kebetulan kalau perjalanan ketiga film ini berawal dari pencarian seorang perempuan 19 tahun, lalu mampir pada kisah obsesi dua orang dewasa, dan akhirnya berujung pada cerita seorang perempuan yang mendambakan sebuah sentuhan intim di senja kehidupannya. Kita pun bisa melihat perkembangan penyutradaraan Teddy yang tampak lebih matang dalam drama sederhana yang ditampilkannya di “About a Woman.”
Seorang sutradara pada umumnya memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda-beda. Ada yang berpusat pada struktur skenario di mana nilai artistik terdapat dalam naratif dan ritme dialog. Ada juga yang mengandalkan performa actor untuk menyampaikan emosi yang terkandung dalam cerita. Ada lagi yang mengutamakan kecantikan gambar dan memberikan porsi besar pada tata kamera yang menciptakan shot-shot visual yang menawan. Apapun gayanya, pada dasarnya sutradara yang andal mengerti bahwa setiap elemen (teknis maupun non-teknis), perlu diramu dan dipadukan menjadi satu kesatuan yang kemudian bisa dinikmati sebagai sebuah karya kreatif yang utuh. Tentunya bukan hal yang mudah, tapi inilah yang dicoba dilakukan Teddy di “About a Woman.”
Teddy mengandalkan skenario dengan cerita sederhana yang serba minimalis; irit karakter, satu lokasi, minim dialog. Di sini lah dia bermain dengan pengadeganan dengan penekanan pada gestur-gestur kecil dan suasana yang dibangun dan dijaga dari awal sampai akhir film. Contoh sederhananya adalah adegan pembuka di mana si ibu meloncat-loncat mencoba membersihkan sarang laba-laba tapi gagal karena plafon terlalu tinggi sehingga ia tak sampai. Adegan ini dimunculkan kembali di tengah film, kali ini yang membersihkan Abi, pemuda yang dikirim untuk membantu dan menemaninya. Abi dengan mudah membereskan apa yang tak bisa dilakukan si ibu. Dengan demikian Teddy tak hanya menyajikan adegan-adegan untuk alasan praktis yaitu pengembangan cerita, tapi juga menawarkan lapisan yang lebih mendalam: misalnya bagaimana si ibu yang sudah berumur ini dengan susah payah menggapai sesuatu yang tak mungkin bisa ia raih kembali, yaitu masa mudanya. Juga bagaimana yang muda tak menggubris pesatnya perjalanan waktu dan dengan enteng menyiakannya. Si ibu mengamati Abi (yang menjadi symbol masa muda dan kejantanan) dengan perasaan terpesona, kagum, tapi sekaligus miris.
Pilihan puzzle juga punya makna tersendiri. Kepingan-kepingan berserakan di atas meja selama dua minggu dan masih juga belum terlihat jelas gambarnya. Ini menunjukkan begitu rapuhnya kesehatan fisik dan mental kita di masa tua. Tak hanya itu. Selain menjadi visual image yang enak dipandang, ketika puzzle rampung di akhir film, gambarnya menunjukkan senja, matahari yang terbenam. Perempuan tua itu terisak melihat susunan gambar yang tak berpihak padanya; menandakan keberadaannya di dunia ini semakin pudar. Di credit title pun sang protagonis hanya disebut dengan Ibu/Oma. Karakter lainnya memiliki nama, hanya dia yang tak punya, seolah karena umurnya, ia tak lagi punya hak atas identitasnya. Semua ini pasti sudah dipikirkan secara matang sejak tahap penulisan, tapi di tangan sutradara yang kurang peka, detil-detil kecil macam ini belum tentu muncul ke permukaan.
Karena seluruh cerita berlangsung di satu rumah, penyutradaraan dari segi gambar terlihat dari konsep kamera yang cenderung statis, guna memberikan ruang dan waktu pada pemain untuk mengungkapkan drama dalam naratif. Si ibu hampir tak pernah tampak di luar rumah. Dia seakan “terkurung” (walaupun secara sukarela) di tempat kediamannya. Framing kamera sering menempatkannya di antara kusen pintu, bingkai jendela, pantulan cermin sehingga perempuan tua ini tampak “terjebak” dalam adegan-adegan interior yang diisi dengan rutinitas sehari-hari. Sementara Abi yang muda dan gagah sering terlihat di luar rumah sibuk dengan kegiatan-kegiatan fisik yang penuh gerakan. Teddy telah menciptakan kontras yang tegas antara dua dunia; Perempuan tua vs. lelaki muda, interior rumah yang gelap dan remang-remang vs. eksterior kebun yang cerah, struktur kaku rumah vs. tekstur alam yang penuh kehidupan (pohon, rumput, air). Dengan bantuan sinematografer Ical Tanjung yang menciptakan frame dan shot-shot yang serba sempit dan sesak, rumah yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan yang nyaman dan tenteram, mendadak berubah menjadi semacam kurungan. Si ibu tak bebas dan seolah diingatkan kembali betapa tak berdayanya dia melawan takdir.
Pada akhirnya adalah aktor; nafas dari sebuah film karena mereka lah yang menyampaikan emosi dari cerita. Pengarahan semua pemain dalam “About a Woman” dilakukan dengan subtil dan kepekaan yang langka. Ada Laras (Anneke Jody), anak si ibu yang sedang coba-coba berjilbab karena suaminya suka, tapi ia tetap tak bisa menghentikan kebiasan merokok. Lalu ada mantu si ibu, Bimo (Ringgo Agus Rahman), seorang pecundang yang tak pernah jelas kerjanya dan tak peka dengan keadaan di sekitarnya. Mereka dimainkan dengan pas, mengingatkan kita pada karakter-karakter yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Tapi yang paling berkesan adalah akting Tutie Kirana yang memerankan si ibu dengan prima. Di industri yang gaya aktingnya cenderung verbal dan berlebihan, Teddy membangun ketegangan dan keintiman antara pemain utamanya secara hening dan elegan. Tak banyak kata untuk menjelaskan, cukup gestur kecil dan jeda untuk menggambarkan seribu makna.
Tugas sutradara adalah menerjemahkan kata-kata ke dalam medium gambar lewat pengolahan konsep-konsep abstrak menjadi konkret. Ia menentukan pilihan shot, penempatan dan gerak kamera yang cocok dengan cerita yang ingin disampaikan. Dan ia juga bertanggung jawab atas staging dan pengarahan pemain yang merupakan jiwa dari sebuah film. Teddy Soeriaatmadja menjadi Sutradara Terbaik Pilihan Tempo tahun ini bukan karena dia memiliki fokus tertentu atau pendekatan yang istimewa, tapi justru karena ia mencakup kurang lebih sebagian besar kriteria tugas-tugas tersebut. Ia menguasai dan memahami filmnya secara menyeluruh. Berkat visi kreatifnya yang sukses meramu semua elemen tadi, Teddy berhasil mengantarkan “About a Woman” sebagai sebuah karya seni yang utuh dan cemerlang.

About a Woman (21+)
(Drama, 76 minutes, 2014, Indonesia)
13 February 2016 / 19.00
21 February 2016 / 21.30
26 February 2016 / 21.30
A widow of 65 lives alone but denies she is lonely. Her family sends her in-law’s nephew, teenager Abi, to help around the house. The widow, who is starting to feel insecure about her fading beauty, and Abi, a teenager exploding with emotions, begin to change their perception of each other, from awkwardness to attraction.
(Drama, 76 minutes, 2014, Indonesia)
13 February 2016 / 19.00
21 February 2016 / 21.30
26 February 2016 / 21.30
A widow of 65 lives alone but denies she is lonely. Her family sends her in-law’s nephew, teenager Abi, to help around the house. The widow, who is starting to feel insecure about her fading beauty, and Abi, a teenager exploding with emotions, begin to change their perception of each other, from awkwardness to attraction.

Something In The Way (21+)
(Drama, 89 minutes, 2013, Indonesia)
5 February 2016 / 19.00
12 February 2016 / 19.00
Ahmad is a taxi driver in Jakarta who is addicted to erotic films and books, but has no means to channel his lust because he is sexually incapacitated. A glimmer of hope appears when Ahmad falls in love with his neighbor Kinar, a prostitute, who he regularly drives to her appointments.
(Drama, 89 minutes, 2013, Indonesia)
5 February 2016 / 19.00
12 February 2016 / 19.00
Ahmad is a taxi driver in Jakarta who is addicted to erotic films and books, but has no means to channel his lust because he is sexually incapacitated. A glimmer of hope appears when Ahmad falls in love with his neighbor Kinar, a prostitute, who he regularly drives to her appointments.