Penulis: JB Kristanto, Bre Redana
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004) Terbit pertama kali di Kompas, 9 Juni 1985.
1 Comment
Jakarta, Kompas, 1 Desember 1979
Sampai sekarang bioskop masih dinilai semata-mata sebagai usaha dagang. Bioskop belum dinilai sebagai lembaga pendidikan tetapi sebagai lembaga yang mendatangkan uang. Demikian Ketua I Dewan Film Nasional Asrul Sani dalam dengar pendapat Dewan Komisi I DPR hari Jumat kemarin. Menurut Asrul Sani, seharusnya bioskop di samping sebagai usaha dagang harus pula berfungsi sebagai lembaga kebudayaan diantaranya pendidikan. Tetapi ternyata, lembaga ini justru dinilai oleh masyarakat bahkan juga oleh orang tua yang berpendidikan sebagai lembaga “yang harus dijauhi”. Dikatakan hal itu bersumber pada filem sendiri. Karena sampai sekarang filem masih banyak dilakukan sebagai usaha dagang dan belum sebagai usaha pendidikan, maka factor keuntungan material yang dipentingkan. Akibatnya, produser filem akan membuat filem-filem yang dirasa lebih banyak mendatangkan keuntungan material. Berdasar itu, ia mengusulkan adanya satu pembinaan yang mengarahkan filem sebagai usaha pendidikan dan bukan semata-mata sebagai usaha dagang. Ia mengingatkan kembali tentang Kode Etik Produksi yang diperjuangkan sejak 1964. Dalam etika itu dijelaskan tentang “filem yang baik dan buruk”, sehingga masyarakat filem tahu tentang jenis-jenis filem, yang harus diprodusir sesuai dengan fungsinya sebagai media pendidikan. Dalam kaitan ini, Asrul Sani menegaskan kembali tentang keinginan dari peserta Seminar Perfileman bulan Maret 1979. Antara lain disebutkan, filem sebagai barang hiburan tetapi sekaligus sebagai saluran menumbuhkan sikap berbudaya. Untuk mencapainya perlu dana dan orang-orang yang benar benar menyadari kegunaan filem sebagai media budaya dan bukan semata-mata media perdagangan. Ditambahkan untuk itu kira-kira masih butuh waktu 5 tahun lagi. Sementara itu Kusno Sudjarwadi dari PARFI mengemukakan, masyarakat penonton film kita masih melihat pada “glamour” bintang filem. Nampak dari broker yang tak mau mengedarkan filem-filem bila filem itu tak dibintangi bintang filem yang tenar dan popular. Oleh karenanya, ia merasa penonton pun perlu dididik dalam soal perfileman. Pendapat ini ditegaskan oleh Asrul Sani, “hendaknya dalam kurikulum sekolah ada pelajaran apresiasi filem”. Soemardjono dari Karyawan Filem dan Televisi, menjawab pertanyaan anggota DPR, mengatakan bahwa sudah banyak usaha yang dilakukan untuk kesejahteraan karyawan filem. Tetapi diakuinya, usaha itu masih dalam penyempurnaan. Acara dengar pendapat ini dipimpin oleh Ketua I DPR Chalid Mawardi. Dari Dewan Filem Nasional hadir antara lain Menpen Ali Moertopo sebagai Ketua Umum, Dirjen RTF Soemadi sebagai Sekjen Dewan Filem Nasional. |
ASRUL SANIAsrul Sani (1927– 2004) was a legendary Indonesian writer, poet and screenwriter. Sani's first screenplay was Lewat Djam Malam (Past Curfew) which was awarded in the 1955 Indonesian Film Festival. Other award winning screenplays were Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chase Me, I'll Catch You) and Titian Serambut Dibelah Tujuh, which will be featured in this month’s spotlight on Asrul Sani. |